Adab-Adab Bercanda Dalam Islam

Adab-Adab

Tidak bisa dipungkiri, di saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rileks dan santai untuk mengendurkan urat syaraf kan sobat, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja bangkit kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat. Hal ini tidak dilarang selama tidak berlebihan.

Berkelakar atau bercanda merupakan hal lumrah yang dilakukan manusia. Bahkan, kadang berkelakar sudah menjadi semacam ‘bumbu’ dalam setiap pembicaraan. Namun, adakalanya kita menemui seseorang yang berlebihan dalam bercanda dan tertawa, dan di lain pihak ada pula seseorang yang selalu bermuka kelam tanpa dihiasi garis-garis senyum di bibirnya. Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara dua kebathilan. Selain itu Islam juga merupakan agama yang komplit, yang mengatur segala sesuatu sampai dengan buang hajat dengan segala adabnya. Lalu,… bagaimana Islam membicarakan fiqh dalam bercanda ?
Dalam beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda ketika memanggil shahabatnya :

يَا ذَا اْلأُذُنَيْن

“Hai yang mempunyai dua telinga “ [1]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah berkata kepada seorang perempuan tua : “Tidak ada perempuan tua yang masuk surga”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca ayat :

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً * فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan “ [QS. Al-Waaqi’ah : 35-36] [2]

Dari Anas radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku jalan-jalan”. Beliau berkata : “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta”. Laki-laki itu pun menukas : “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”. Beliau berkata :

وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلّا النُّوقُ

“Bukankah setiap unta adalah anak ibunya?” [3]

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata : “Orang-orang bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau juga mengajak kami bercanda?’. Beliau menjawab :

إِنِّي لا أَقُولُ إِلّا حَقّاً

”(Ya, tapi) tidaklah aku hanya mengatakan sesuatu kecuali kebenaran (tanpa berdusta)“[4]

Dari beberapa riwayat tentang kelakar/bercandanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat padanya beberapa Adab-adab, antara lain :

1. Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah Rasul-Nya atau syi`ar-syi`ar Islam, seperti mengejek, seseorang yang memanjangkan jenggotnya karena mengikuti sunnah dikata 'Jenggot Kambing', Muslimah yang Bercadar dikatakan 'Ninja', Celana diatas Mata kaki diejek dengan isitilah 'Kebanjiran', laki/wanita yang tidak mau berdua-duaan dengan yang bukan mahram pun diejek-ejek dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang sering kita dengar, padahal kesemuanya itu adalah bagian dari Agama. Karena ajaran agama ini adalah ajaran yang suci yang turun dari Allah, sekecil apapun itu. Maka barang siapa menghina ajaran ini, sama saja dengan menghina Allah SWT dan Rasul-Nya.

2. Hendaknya percandaan itu tidak mengandung dusta.


Tidak halal hukumnya sengaja melucu dengan hal-hal kedustaan agar manusia tertawa karenanya. Merupakan musibah di masyarakat ketika profesi pelawak menjadi sangat laris di masyarakat. Hendaknya mereka bertaubat kepada Allah ta’ala dan meninggalkannya, sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam mereka (yang melucu dengan dusta agar orang-orang tertawa) dengan sabdanya :

“Neraka Wail bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka Wail baginya, neraka Wail baginya“ [5]

3. Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia.

Mencela atau menyakiti perasaan tidak dihalalkan diantara sesama mukmin. Hendaknya setiap orang menjaga perasaan saudaranya dalam setiap keadaan, baik bercanda ataupun bukan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mencela sebagian yang lain, karena boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari yang mencela” (Al-Hujurat : 11)

4. Bercanda tidak dengan semua orang.

Maksudnya, dalam bercanda harus pilih-pilih. Tidak semua orang suka dibercandai dan bercanda bisa saja menimbulkan mudharat (keburukan) bila dilakukan dengan orang-orang tertentu, misalnya wanita yang bukan mahram. Bercanda berlebihan dengan wanita non-muhrim akan menimbulkan fitnah. Maka sebaiknya dibatasi kadar dan intensitasnya. Begitu pula kepada orang yang lebih tua, tentunya sikap yang utama adalah santun dan berlemah lembut. Adapun bila ingin bercanda perlu disesuaikan jenis candaannya agar tidak mengurangi rasa hormat kita.

5. Tidak bergaya menyerupai wanita (atau laki-laki).


Seringkali untuk membuat orang tertawa, seorang laki-laki bergaya seperti wanita. Baik pakaian, cara berjalan, atau cara bicaranya. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ad-Darimi, hadist shahih). Sungguh aneh, saat zaman dahulu di negeri kita ini banci atau bencong menjadi hal yang tabu, namun di masa ini malah menjadi hal yang biasa saja dan malah jadi bahan candaan. Padahal hal tersebut mendapat laknat Allah dan Rasul-Nya.

Baca juga tulisan yang hampir sama dengan tema diatas

RAMADHAN: Dari TRADISI Hingga KOMEDI dan BANCI

Sumber dan Sumber, dengan penambahan/pengurangan kalimat dari Admin

Catatan kaki :

[1] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 235 dan Sunan-nya no. 1992, 3828; Abu Dawud no. 5002; dan Ahmad 3/117, 127. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228.
[2] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 240 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail no. 205 dan Ghayatul-Maram no. 375.
[3] HR. Abu Dawud no. 4998 dan At-Tirmidzi no. 1991. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228. .
[4] HR. At-Tirmidzi no. 1990; dan beliau berkata : “Hadits ini hasan shahih”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/375.
[5] HR. Abu Dawud dalam no. 4990 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/226.

No comments: