Bahaya Mengkafirkan Sesama Muslim
Penulis: Asatidz Ahlussunnah
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir Bila menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12)
Mereka telah berani mengkafirkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi ‘Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya ‘Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 12/296-297)
Sebab Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: – Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama. – (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah (tidak mengikuti Sabilul Mukminin, jalannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, pen). Siapa saja menyimpang dari (jalan) Jamaah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah ‘Azza wa Jalla (dalam Al-Qur’an), maka ia telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Yang saya maksud adalah firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّـى وَنُصْلِهِ جـَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin , kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19) Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Masalah Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah, As-Salafiyyun adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Merekalah yang sejak dahulu hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan fatwa-fatwa para ulama cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat ironis apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari fitnah takfir ini adalah As-Salafiyyun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Dan hendaknya berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 8/217, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir karya Muhammad bin Nashir Al-’Uraini, hal. 30)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum asal bagi seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.” (Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa Asma-ihil Husna, hal. 87-88)
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah Wal Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus Sunnah wal Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang, setelah benar-benar terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalangi dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Ada dua syarat (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim. Pertama: Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran. Kedua: Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari) bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan ia sengaja dalam mengerjakannya. Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir.
Dasarnya adalah firman Allah taala:
وَمَنْ يُشَاقِِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّى وَنُصْلِه جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُوْنَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Contohnya: – Seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan. – Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah taala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa ??? karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam-pen). Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195). Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kedzaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil -pen). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman -pen) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahulah berkata: “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kedzaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” (Adhwa-ul Bayan, 2/104). Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar. 3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar. 4. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al-Hukmu Bighairima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al-Uraini hal. 21-22)
Refleksi Terhadap Fenomena Takfir Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari berbagai macam jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an. Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin ‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
Buku-buku para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir Al-’Uraini berkata: “Sesungguhnya di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi menyesatkan hamba-hamba Allah ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (At-Tahdzir Minat Tasarru Fittakfir, hal. 51).
Di antaranya Sayyid Quthub dalam Ma’alim Fith-Thariq, Fii Zhilalil Qur’an, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah ataupun Al-Islam Wamusykilatul Hadharah dsb. Sebagaimana yang disaksikan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti:
- Yusuf Al-Qardhawi, ia berkata: “Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu nampak jelas dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari Azh-Zhilal, dan Al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hal 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal. 102)
- Farid Abdul Khaliq, ia berkata: “Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP Al-Qanathir di akhir-akhir tahun limapuluhan dan awal-awal tahun enampuluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah itu.” (Al-Ikhwanul Muslimun fii Mizanil Haq, hal. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal.103)
Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Usus Al-Akhlaqiyyah Lil Harakah Al-Islamiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin dalam Majalah As-Sunnah dan Manhajul Anbiya Fid Da’wati Ilallah, Safar Al-Hawali dalam Wa’d Kasenjer, Salman Al-’Audah dalam kaset Limadza Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna…Wahunaka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut, dan berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai macam syubhat dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang telah diserukan oleh Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali di dalam kitabnya Al-Irhab Wa Atsaruhu ‘Alal Afrad Wal Umam, hal. 128-142. Di antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam.
Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: “Barangsiapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).”Namun ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu) maka mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Suatu perkataan kadangkala termasuk dari bentuk kekafiran, maka pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan: ‘Barangsiapa mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya -pen).’ Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah.” (Fitnatut Takfir, hal. 49). Beliau juga berkata: “Dan tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang menyatakan: ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal,’ dikarenakan ia baru masuk Islam (belum tahu ilmunya -pen), atau dikarenakan hidup di daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh dakwah -pen). Atau mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…, maka (orang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepada mereka hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah taala:
لِـئَلاَّ يـَكُـوْنَ لِلنَّا سِ عَلَى اللهِ حُجَّـةٌ بـَعْدَ الرُسُل
ِ “Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisaa’: 165).
Dan Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini. (Majmu’ Fatawa, 35/165-166). Wallahul a’lam bish shawab. Penutup Demikianlah apa yang bisa kami sampaikan tentang fitnah takfir dan bahayanya, berikut pula manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah dalam masalah ini, serta beberapa refleksi dari fenomena takfir. Semoga Allah taala senantiasa menganugerahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, serta melindungi kita semua dari berbagai macam fitnah baik yang tampak maupun tidak tampak. Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.
Sumber: http://muwahiid.wordpress.com
No comments:
Post a Comment