Pada tahun tahun yang lalu, kita dikejutkan oleh bencana alam berupa gempa bumi disertai tsunami. Peristiwa dahsyat tersebut menyapu bangunan rumah, memakan korban jiwa, menjadikan manusia terluka-luka, dan menghancurkan harta dan sarana hidup manusia.
Sungguh, ini adalah sebuah peristiwa besar yang seharusnya bagi kita untuk mengambil pelajaran darinya sehingga mempertebal keimanan kita dan memompa semangat kita untuk menambah bekal amal sholih untuk menghadap Alloh. Pada kesempatan kali, izinkanlah kepada kami untuk membahas masalah gempa bumi ditinjau dari sudut agama Islam[1] dan berbagai masalah hukum fiqih yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat.
Definisi Gempa
Gempa bumi adalah goncangan besar dan keributan yang sangat. Alloh berfirman:
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),” (QS. az-Zalzalah [99]: 1)[2]Imam al-Baghowi rahimahullah berkata, “Gempa adalah goncangan dahsyat yang menakutkan.”[3]
Gempa dan Tsunami Dalam Catatan Sejarah
Barang siapa yang menelaah sejarah, niscaya akan mengetahui bahwa peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami tidak hanya ada pada zaman sekarang, namun telah ada semenjak dahulu kala sebagaimana dipaparkan secara detail tempat dan tanggal kejadiannya oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Mudhisy dan as-Suyuthi dalam Kasyfu Sholsholah ’An Wasfi Zalzalah. Setiap peristiwa bersejarah tersebut memuat hikmah dan pelajaran bagi setiap orang yang berakal. Tidak mungkin kami sebutkan semua peristiwa tersebut, namun cukuplah kita merenungi salah satu kisah tsunami berikut:
Jumadil Ula, 460 H. Bumi membelah, memuntahkan isi perutnya. Guncangannya dirasakan hingga di kota Rohbah dan Kufah. Air laut menyusut sejauh jarak perjalanan satu hari, terserap oleh bumi hingga terlihatlah permukaan bumi dasar laut yang bertabur permata dan berbagai bentuk batu unik lainnya. Orang-orang pun berhamburan untuk memungut setiap batu unik yang tampak. Tanpa diduga, ternyata tiba-tiba air laut kembali pasang dan menyapu mereka hingga sebagian besar mereka tergulung dan meninggal dunia.[4]
Apakah yang dapat kita petik dari kisah di atas?! Salah satu di antaranya, agar kita tidak tertipu dengan dunia yang menipu!!
Di Indonesia sendiri, gempa bumi akhir-akhir ini sering terjadi. Berikut ini data tentang sebagian peristiwa gempa bumi yang populer di Indonesia:[5]
Tanggal | Kekuatan | Episentrum | Area | Tewas | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
26 Desember 2004 | 9.3 | Samudra Hindia | Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara | 131.028 tewas dan sekitar 37.000 orang hilang | |
27 Mei 2006 | 5.9 | 7.977°LS 110.318°BT Bantul, Yogyakarta | Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten | 6.234 | |
17 Juli 2006 | 7.7 | 9.334°LS 107.263°BT Samudra Hindia | Ciamis dan Cilacap | >400 | |
12 September 2007 | 7.7 | 4.517°LS 101.382°BT | Kepulauan Mentawai | 10 | |
2 September 2009 | 7.3 | 8.24°LS 107.32°BT | Tasikmalaya dan Cianjur | >87 | |
30 September 2009 | 7.6 | 0.725°LS 99.856°BT | Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Padang, dan Agam | 1.115 | 135.299 rumah rusak berat, 65.306 rumah rusak sedang, dan 78.591 rumah rusak ringan |
9 November 2009 | 6.7 | 8.24°LS 118.65°BT | Pulau Sumbawa | 1 | 80 orang luka dan 282 rumah rusak berat. |
25 Oktober 2010 | 7.7 | 3.61°LS 99.93°BT | Sumatera Barat | 408 orang tewas |
Faktor Penyebab Gempa
Seringkali kita membaca komentar para penulis dan ilmuwan di media pasca kejadian gempa bumi atau tsunami yang mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya gempa hanyalah karena faktor alam dan letak geografis daerah bencana yang dekat dengan laut. Namun, benarkah hanya sekadar itu sebagai faktor penyebab terjadinya gempa?! Tidakkah ada faktor lain yang lebih dominan daripada itu?!
Gempa pertama pada masa Islam terjadi pada zaman Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu. Simaklah ucapan Shofiyyah radhiyallahu ‘anha:
“Pernah terjadi gempa bumi di Madinah pada masa Umar radhiyallahu ‘anhu sehingga beberapa pagar roboh, lalu Umar berkhotbah: ‘Wahai penduduk Madinah, alangkah cepatnya kalian berubah. Demi Alloh, seandainya gempa terulang lagi maka saya akan keluar dari kalian (karena khawatir menimpa dirinya juga).’”[6]Perhatikanlah alangkah cerdasnya pemahaman Khalifah Umar! Tatkala beliau mendapati peristiwa aneh yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam [7], maka beliau mengetahui bahwa umat ini telah berbuat suatu hal baru yang menjadikan Alloh mengubah keadaan bumi.[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata,
“Gempa termasuk tanda kekuasaan Alloh yang Alloh timpakan untuk menimbulkan ketakutan pada hamba-Nya, seperti halnya gerhana matahari atau bulan dan peristiwa-peristiwa dahsyat semisalnya. Kejadian-kejadian tersebut memiliki sebab dan hikmah. Salah satu hikmahnya adalah untuk menimbulkan ketakutan. Adapun faktor penyebabnya, di antaranya adalah meluapnya uap dalam bumi sebagaimana air dan angin yang meluap di tempat yang sempit. Kalau meluap, sejatinya tentu ingin cari tempat keluar sehingga bumi terpecah dan terjadi gempa di bumi sekitar. Adapun ucapan sebagian orang bahwa sebabnya adalah karena kerbau menggerakkan kepalanya sehingga menggerakkan bumi, maka ini adalah kejahilan yang sangat nyata.[9] Seandainya benar demikian, niscaya akan terjadi gempa pada seluruh bumi padahal tidak demikian perkaranya.”[10]Adapun penisbatan peristiwa ini kepada alam semata, maka itu termasuk kebodohan dan kelalaian yang jauh dari tuntunan agama. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah telah membantah pemikiran ini secara panjang lebar dalam risalahnya yang berjudul Idhohul Maqol Fi Asbabi Zilzal war Roddu ’Ala Malahidah Dzulal. Di akhir kitab tersebut, beliau mengatakan,
“Dari penjelasan yang lalu dapat disimpulkan bahwa gempa bumi bisa jadi cobaan dari Alloh dan bisa jadi peringatan dari Alloh karena dosa hamba.[11] Dan semua itu dengan takdir Alloh sebagaimana telah lalu dalilnya. Adapun orang yang mengatakan karena sebab alam jika maksudnya adalah dengan takdir Alloh dan karena sebab dosa maka tidak kontradiksi dengan dalil, namun bila mereka berkeyakinan hanya sekadar faktor alam semata maka ini sangat bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan ini merupakan pemikiran yang menyimpang”.[12]Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang menganggap bahwa musibah yang menimpa mereka baik dalam bidang perekonomian, keamanan atau politik disebabkan karena faktor-faktor dunia semata. Tidak ragu lagi bahwa semua ini merupakan kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Sesungguhnya di balik musibah ini terdapat faktor penyebab syar’i yang lebih besar dari faktor-faktor duniawi. Alloh berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alloh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41).”[13]Hikmah di Balik Gempa
Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, hendaknya kita pandai-pandai untuk mengambil pelajaran dari peristiwa gempa bumi dan tsunami ini. Dahulu, orang bijak berkata:
مَنْ كَانَ ذَا فِكْرَةْ فَفِيْ كُلِّ شَيْئٍ لَهُ عِبْرَةْ
“Barang siapa yang berotak cerdas, niscaya segala sesuatu adalah pelajaran baginya.”Lantas, bagaimana kiranya dengan peristiwa besar seperti ini?!! Ada beberapa hal yang dapat menjadi renungan dan pelajaran bagi kita, di antaranya:
- Peristiwa ini menjadikan seorang muslim semakin beriman dan yakin akan kekuasaan Alloh subhanahu wata’ala. Seorang muslim yakin bahwa Allohlah yang mengatur alam ini sesuai dengan kehendak-Nya, dan memutuskan apa yang Dia inginkan. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak keputusan-Nya, sekalipun semua ilmuwan berkumpul untuk menghadangnya dengan alat-alat modern dan super canggih!!
- Peristiwa ini dapat menumbuhkan rasa takut dalam jiwa hamba-hamba-Nya sehingga mereka memperbaiki diri dari segala dosa menuju jalan yang lurus. Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Adanya gempa adalah peringatan dari Alloh kepada penduduk bumi ketika mereka terang-terangan dengan kemaksiatan.”[14]
- Peristiwa ini mengingatkan kita akan nikmat Alloh subhaanahu wa ta’ala berupa menetapnya bumi. Aduhai, jika bumi ini bergoncang dalam sekejap saja, telah memakan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya, lantas bagaimana kiranya jika bergoncang sehari penuh, atau berhari-hari, apa yang akan terjadi dengan manusia di permukaannya?!!
- Peristiwa ini mengingatkan kita akan goncangan besar kelak di akhirat yang menjadikan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya lalai dari bayinya dan wanita hamil keguguran[15], semua itu karena sangat dahsyatnya. Dengan demikian kita akan segera bertaubat, bersemangat dalam amal sholih, dan tidak tertipu dengan dunia.[16]
Ketika gempa bumi menyapa, bila tsunami menghampiri manusia, ketika para korban berjatuhan meninggal dunia, ketika bangunan hancur berkeping-keping menjadi tanah, ketika para wanita menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim tanpa orang tua … pada saat itu semua hendaknya kita semua lebih mendekatkan diri kepada Alloh, mengingat akhirat, segera bertaubat, bersemangat ibadah, dan tidak tertipu dengan dunia yang fana. Berikut ini beberapa amalan yang hendaknya dilakukan ketika gempa dan tsunami terjadi:
1. Taubat kepada Alloh
Sesungguhnya peristiwa ini akan membuahkan bertambahnya iman seorang mukmin, memperkuat hubungannya dengan Alloh subhaanahu wa ta’aala. Dia sadar bahwa musibah-musibah ini tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dosa-dosa anak manusia berupa kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Tidaklah terjadi suatu malapetaka melainkan karena dosa, dan malapetaka itu tidak akan dicabut oleh Alloh subhaanahu wa ta’aala kecuali dengan taubat.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Kadang-kadang Alloh mengizinkan bumi bernapas sehingga mengakibatkan gempa dan tsunami yang dahsyat, sehingga hal itu menjadikan ketakutan kepada Alloh, kesedihan, taubat dan berserah diri kepada Alloh.”[17]
2. Banyak berdzikir, do’a, dan istighfar kepada Alloh
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Obat yang paling mujarab untuk mengobati bencana adalah memperbanyak tasbih.” Imam as-Suyuthi rahimahullah berkomentar, “Hal itu karena dzikir dapat mengangkat bencana dan adzab, sebagaimana firman Alloh:
فَلَوْلَآ أَنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلْمُسَبِّحِينَ ﴿١٤٣﴾ لَلَبِثَ فِى بَطْنِهِۦٓ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ ﴿١٤٤﴾
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Alloh, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. ash-Shoffat [37]: 143–144)[18]Renungkanlah juga bersama saya firman Alloh:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ﴿٣٣﴾
“Dan Alloh sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Alloh akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. al-Anfal [8]: 33)Ayat mulia ini menunjukkan bahwa ada dua hal yang dapat melindungi manusia dari adzab. Pertama, adanya Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam di tengah-tengah manusia dan ini bersifat sementara. Kedua, istighfar dan meninggalkan segala dosa dan ini bersifat seterusnya sekalipun Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam telah meninggal dunia.[19]
3. Membantu para korban bencana
Saudaraku, bila kita sekarang dalam kenikmatan dan kesenangan, kita bisa makan, minum, dan memiliki rumah, maka ingatlah saudara-saudaramu yang terkena bencana. Saat ini mereka sedang kesusahan dan kesulitan. Maka ulurkanlah tanganmu untuk membantu mereka semampu mungkin. Rosululloh shallallahu ‘alayhi wasallambersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membantu menghilangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Alloh akan menghilangkan kesusahan darinya besok di hari kiamat.” (HR. Muslim (2699))Terlebih lagi orang kaya, pengusaha, pemerintah, dan bangsawan, hendaknya mereka mengeluarkan hartanya untuk membantu para korban. Dahulu, tatkala terjadi gempa pada masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau menulis surat kepada para gubernurnya untuk bershodaqoh dan memerintah rakyat untuk bershodaqoh.[20]
Dan hendaknya para relawan saling membantu dan saling melengkapi antar sesama sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan mereka[21], jangan sampai ada terjadi pertengkaran atau perasaan bahwa dia adalah orang yang paling pantas dibanding lainnya.
4. Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Sebagaimana tadi kita sebutkan bahwa termasuk faktor terjadinya gempa adalah dosa umat manusia maka hendaknya hal itu dihilangkan, salah satu caranya dengan menegakkan dakwah, saling menasihati, dan amar ma’ruf nahi munkar sehingga mengecillah kemungkaran. Adapun bila kita acuh tak acuh dan mendiamkan kemungkaran maka tak ayal lagi bencana tersebut akan kembali menimpa kita.
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ ﴿٧٨﴾ كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ ﴿٧٩﴾
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Ma’idah [5]: 78–79)Jangan Menambah Bencana di Atas Bencana
Sebagian orang bertindak konyol, ingin menolak bala dari mereka, tetapi alih-alih bala tersebut berkurang, justru semakin parah dan bertambah. Sebabnya tidak lain banyak sekali amalan tolak bala yang bertentangan dengan agama. Di antara amalan yang perlu kami ingatkan di sini adalah:
Ini adalah adat jahiliah yang masih bercokol pada tubuh sebagian kaum muslimin. Ketika terkena bencana, mereka mengirimkan sesajen dan tumbal dengan harapan dapat menolak bala, namun anehnya hal itu justru memperparah bencana. Penulis jadi teringat kisah sebagian kawan bahwa ketika ada musibah lumpur panas Lapindo, beberapa orang mengirim tumbal kerbau yang dicelupkan hidup-hidup ke lumpur panas! Namun, kenyataannya sampai sekarang pun penyelesaian tak kunjung datang, bahkan semakin parah dan bertambah.
1. Kirim tumbal dan sesajen
Adat kirim tumbal dan sesajen bukanlah dari ajaran Islam. Justru Islam telah membatalkan hal ini. Alangkah menariknya apa yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir bahwa pada suatu saat, Sungai Nil di Mesir pernah kering tidak mengalirkan air. Maka penduduk Mesir mendatangi Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu seraya mengatakan,“Wahai Amir (Gubernur), Sungai Nil kita ini memiliki suatu musim untuk tidak mengalir kecuali dengan tumbal.” Amr bertanya, “Tumbal apakah itu?” Mereka menjawab, “Pada tanggal 12 di bulan seperti ini, biasanya kami mencari gadis perawan, lalu kita merayu orang tuanya dan memberinya perhiasan dan pakaian yang mewah, kemudian kita lemparkan dia ke Sungai Nil ini.” Mendengar hal itu, Amr mengatakan kepada mereka, “Ini tidak boleh dalam agama Islam. Islam telah menghapus keyakinan tersebut.”
Beberapa bulan mereka menunggu, tetapi Sungai Nil tetap tidak mengalir sehingga hampir saja penduduk setempat nekad memberikan tumbal. Maka Amr menulis surat kepada Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu tentang masalah tersebut, lalu beliau menjawab, “Sikapmu sudah benar. Dan bersama ini saya kirimkan secarik kertas dalam suratku ini untuk kamu lemparkan ke sungai Nil.” Tatkala surat itu sampai, maka Amr mengambilnya, ternyata isi surat tersebut sebagai berikut:
Dari hamba Alloh, Umar Amirul Mukminin kepada Nil, sungai penduduk Mesir. Amma ba’du. Bila kamu mengalir karena perintahmu sendiri maka kamu tidak perlu mengalir karena kami tidak butuh kepadamu, tetapi kalau kamu mengalir karena Alloh yang mengalirkanmu maka kami berdo’a agar Alloh mengalirkanmu.Setelah surat Umar radhiyallahu ‘anhu tadi dilemparkan ke Sungai Nil, dalam semalam saja Alloh telah mengalirkan Sungai Nil sehingga berketinggian enam belas hasta!!”[22]
2. Undangan do’a bersama
Sebagian orang melakukan ritual ibadah do’a bersama-sama untuk tolak bala dengan analogi seperti sholat istisqo‘ (minta hujan) yang jelas disyari’atkan dalam Islam. Namun, apakah hal ini dibenarkan?
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahulloh mengatakan, “Pada asalnya, do’a untuk menghilangkan wabah tidaklah terlarang. Namun, berkumpul untuk berdo’a bersama seperti pada sholat istisqo‘ maka ini termasuk bid’ah (perkara baru) dalam agama.
Pada zaman sekarang, wabah tho’un pertama kali muncul di Kairo pada 27 Rabi’ul Akhir tahun 833 H, korban yang meninggal tidak lebih dari empat puluh orang. Kemudian mereka keluar ke tanah lapang pada 4 Jumadil Ula setelah dianjurkan untuk puasa seperti dalam istisqo‘, mereka berkumpul dan berdo’a bersama lalu pulang. Belum selesai bulan Jumadil Ula, ternyata justru korban semakin banyak sehingga setiap hari korban yang mati lebih dari seribu.
Seandainya hal itu disyari’atkan, tentu tidaklah samar bagi salaf dan bagi para ulama sepanjang zaman, sedangkan tidak dinukil dari mereka hadits atau atsar satu pun.”[23]
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahulloh juga menguatkan tidak bolehnya. Kata beliau, “Hal itu tidak ada dalilnya yang shohih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam.” Lanjutnya lagi, “Bencana seperti itu terjadi pada masa Imam Huda Umar bin Khoththob, sedangkan para sahabat saat itu masih banyak, namun tidak dinukil dari seorang pun dari mereka yang melakukan ritual (do’a bersama) tersebut.”[24]
Masalah-Masalah Seputar Gempa Bumi
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan gempa yang kami pandang perlu untuk dikupas di sini agar kita memiliki ilmu tentangnya:
1. Sholat ketika gempa
Ketika terjadi gempa bumi, tsunami, atau bencana besar lainnya, apakah disyari’atkan kita melakukan sholat?! Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama.
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang sholat ketika gempa dan bencana besar sejenisnya.
- Sebagian ulama berpendapat, hendaknya sholat sebagaimana sholat gerhana matahari atau bulan, sebab Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan termasuk tanda-tanda kekuasaan Alloh.’ Demikian juga dengan gempa bumi dan bencana serupa termasuk tanda-tanda kekuasaan Alloh. Kami telah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah sholat pada saat terjadi gempa di kota Bashroh.[25] Dan ini merupakan pendapat Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
- Imam Malik tidak berpendapat demikian (tidak disyari’atkan sholat).
- Sebagian ulama berpendapat bahwa sholat disyari’atkan secara sendirian.”[26]
2. Sholat Ghoib
Sebagian orang tatkala mendengar adanya korban dalam bencana gempa, mereka melakukan sholat ghoib. Apakah disyari’atkan melakukan sholat ghoib untuk para korban bencana? Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:
- Sholat ghoib tidak disyari’atkan secara mutlak, karena sholat ghoib yang dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah khusus untuk beliau. Ini madzhab Abu Hanifah, Malik, dan sebuah riwayat dari Ahmad.
- Sholat ghoib disyari’atkan secara mutlak, dengan dalil sholatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam pada Najasyi. Ini madzhab Syafi’i dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
- Tidak disyari’atkan kecuali pada orang yang memiliki jasa besar.
- Tidak disyari’atkan kecuali apabila mayit diketahui belum ada yang mensholatinya. Pendapat inilah yang paling kuat, karena banyak para sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam yang meninggal dunia pada zaman beliau tetapi tidak dinukil bahwa beliau mensholati mereka.[31]
Apakah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk melakukan qunut nazilah karena bencana gempa bumi? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengutarakan masalah ini dan menjawabnya. Kata beliau, “Apabila kaum tertimpa suatu bencan yang tidak ada kaitannya dengan anak Adam seperti wabah, tsunami, gempa bumi, apakah seseorang hendaknya melakukan qunut atau tidak? Jawabannya: Tidak qunut, sebab bencana seperti ini sering menimpa pada zaman Nabi namun beliau tidak melakukan qunut. Dan setiap hal yang faktor penyebabnya sudah ada pada zaman Nabi tetapi beliau tidak melakukannya padahal tidak ada yang menghalanginya maka itu tidak disyari’atkan. Ini adalah kaidah berharga[32] yang hendaknya seseorang menggigitnya dengan gigi geraham karena sangat berfaedah.”[33]
4. Tata cara penguburan
Bencana gempa bumi dan tsunami menelan korban yang sangat banyak sehingga menimbulkan keadaan darurat yang menyulitkan pengurusan jenazah untuk dilakukan sebagaimana ketentuan syari’at Islam dalam kondisi normal. Bagaimana pengurusan jenazah apabila kondisi darurat seperti itu?! Masalah ini telah dipelajari oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mereka telah mengeluarkan fatwa tentang masalah ini. Berikut kami kutip fatwa mereka:
Pertama:
Pada dasarnya, dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, menurut tata cara yang telah ditentukan menurut syari’at Islam.
Kedua:
Dalam keadaan darurat di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syari’at seperti di atas, maka pengurusan jenazah dilakukan sebagai berikut:
1. Memandikan dan mengkafani
a. Jenazah boleh tidak dimandikan; tetapi, apabila memungkinkan sebaiknya diguyur sebelum penguburan.
b. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah yang bersangkutan walaupun terkena najis.
2. Menshalatkan
Mayat boleh dishalati sesudah dikuburkan walaupun dari jarak jauh (shalat ghaib), dan boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu’tamad (pendapat yang kuat).
3. Menguburkan jenazah
a. Jenazah korban wajib segera dikuburkan.
b. Jenazah boleh dikuburkan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas, baik dalam satu atau beberapa liang kubur [34], dan tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.
c. Penguburan secara massal tersebut boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan; juga antara muslim dan non-muslim.
d. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan.[35]
4. Barang peninggalan korban bencana
Ketika bencana menimpa, ada beberapa barang milik korban yang tertinggal, bagaimana tentang status harta tersebut?
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, apa hukum memungut barang-barang kecil maupun besar yang ditinggalkan oleh pemiliknya atau pemiliknya mati? Beliau menjawab, “Barang-barang itu dikumpulkan dan diserahkan kepada suatu kelompok yang tugasnya menjaga barang-barang tersebut. Lalu mengumumkan kepada yang masih hidup dari penduduk tersebut. Orang yang mengenali barangnya boleh mengambilnya. Ini lebih selamat baginya. Adapun bila barang tersebut tidak diketahui pemiliknya maka hukumnya adalah hukum barang temuan yang belum diketahui pemiliknya. Bisa saja barang tersebut untuk penemunya, bila si penemu itu orang yang berada tersebut maka barang temuan tersebut dijual kemudian dipakai oleh yayasan sosial untuk menanggung anak yatim dan janda-janda di negeri itu maka ini lebih baik.”[36]
Bolehkah lari dari bencana gempa?
Boleh bahkan dianjurkan keluar untuk menyelamatkan diri dari bencana gempa bumi dan semisalnya. Hal ini bukanlah sama sekali lari dari takdir, justru ini lari dari takdir menuju takdir, sebab iman kepada takdir bukan berarti kita tidak mengambil sebab. Demikian juga boleh keluar ke negeri lain kecuali dari wabah tho’un maka tidak boleh menurut pendapat yang kuat sebagaimana orang luar tidak boleh masuk ke wilayah yang kena wabah tho’un.[37]
Demikian apa yang bisa kami kumpulkan dari pembahasan seputar masalah gempa bumi. Semoga Alloh menjaga kita dari segala bencana dan tidak menyiksa kita karena ulah perbuatan dosa orang bodoh di antara kita. Ya Alloh, ampunilah dosa-dosa kami, keluarga kami, anak dan istri kami. Ya Alloh, lunakkanlah hati kami. Ya Alloh, rahmatilah saudara-saudara kami yang meninggal dunia terkena bencana, sembuhkanlah orang yang sakit di antara mereka, berikanlah pengganti yang lebih baik bagi mereka. Aamiin.
Referensi
- Ada Apa di Balik Gempa Tsunami? Khutbah Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad. Ditranskip dan diterjemahkan oleh Ust. Anas Burhanuddin dan Ust. Abdullah Zaen.
- Tahriku Sababah Fima Yata’allaqu Bi Zalzalah. Al-’Ajluni, tahqiq Sufyan bin ’Ayisy Muhammad. Dar Ibnul Jauzi, Yordania, cet. pertama 1425 H.
- Idhohul Maqol Fi Asbabi Zilzal. Muqbil bin Hadi al-Wadi’i.
- Al-Adzab al-Adna. Dr. Muhammad bin Abdulloh as-Suhaim. Darul Minhaj, KSA, cet. pertama 1430 H.
-----------------------------
[1]Para ulama kita telah membahas dan menulis masalah gempa bumi secara khusus, seperti as-Suyuthi (961 H) dalam kitabnya Kasyfu Sholsholah Fi Washfi Zalzalah, Hamid bin Ali al-’Amadi (1171 H) dalam kitabnya al-Hauqolah Fi Zalzalah, dan al-’Ajluni (1162 H) dalam Tahrik Silsilah Fima Yata’allaqu Bi Zalzalah. Hal ini menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Washiyyah ash-Shughro (hlm. 352 — syarah Ibrohim al-Hamd), “Umat ini telah membahas setiap bidang ilmu secara tuntas.” Lihat dan baca juga kitab Abjadul Ulum kar. Shiddiq Hasan Khon.
[1]Para ulama kita telah membahas dan menulis masalah gempa bumi secara khusus, seperti as-Suyuthi (961 H) dalam kitabnya Kasyfu Sholsholah Fi Washfi Zalzalah, Hamid bin Ali al-’Amadi (1171 H) dalam kitabnya al-Hauqolah Fi Zalzalah, dan al-’Ajluni (1162 H) dalam Tahrik Silsilah Fima Yata’allaqu Bi Zalzalah. Hal ini menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Washiyyah ash-Shughro (hlm. 352 — syarah Ibrohim al-Hamd), “Umat ini telah membahas setiap bidang ilmu secara tuntas.” Lihat dan baca juga kitab Abjadul Ulum kar. Shiddiq Hasan Khon.
[2]Al-Hauqolah Fi Zalzalah (hlm. 1) sebagaimana dalam Tahrik Silsilah Fima Yata’allaqu Bi Zalzalah kar. al-’Ajluni (hlm. 26).
[6]Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan-nya (3/342), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (2/473) dengan sanad yang shohih sebagaimana dalam Ma Shohha Min Atsar Shohabah kar. Zakariya bin Ghulam al-Bakistani 1/517.
[7]Gempa belum pernah terjadi pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, “Tidak ada hadits shohih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, yang menyebutkan bahwa pernah terjadi gempa pada zaman beliau dan tidak ada juga sunnah yang shohih tentangnya.” (at-Tamhid (3/318))
[8]Al-Adzab al-Adna kar. Dr. Muhammad as-Suhaim (hlm. 92)
[9]Mirip dengan ini, anggapan sebagian orang bahwa penyebab gempa dan tsunami adalah karena jin penjaga laut sedang marah dan murka sehingga perlu diberi tumbal-tumbal kepala kerbau dan sebagainya, maka semua ini adalah khurofat jahiliah yang batil sebagaimana akan kita bahas insya Alloh.
[11]Jadi, bencana itu bisa jadi sebagai ujian dan cobaan dan bisa jadi sebagai teguran dan siksaan, tergantung pada keadaan manusia yang terkena bencana. Bila dia orang sholih maka itu adalah cobaan dan bila sebaliknya maka itu adalah peringatan dan pelajaran bagi yang semisalnya. Hanya, karena kebanyakan manusia sekarang melalaikan kewajiban agama dan melakukan dosa, maka tidaklah mustahil bila hal itu adalah sebagai peringatan bagi kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (2/478), al-Adzab al-Adna kar. Dr. Muhammad as-Suhaim (hlm. 34–35)). Perlu diketahui bahwa adanya gempa dan semisalnya tidak mengharuskan karena dosa manusia yang menjadi korbannya, bisa jadi adalah karena dosa kita juga tetapi mereka kena getahnya. Oleh karenanya, hendaknya kita semua berintrospeksi dan memperbaiki diri.
[16]Renungkanlah kembali nasihat Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad dalam khotbahnya tentang gempa bumi, dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 108 dalam judul “Ada Apa di Balik Gempa Tsunami?”.
[20]Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (5/337), Ibnu Abi Dunya dalam al-’Uqubat (no. 23) dengan sanad jayyid (bagus).
[21]Syaikh Ahmad an-Najmi pernah ditanya, “Bolehkah salafiyyin bekerja sama dengan orang-orang hizbi, begitu juga berangkat ke daerah tersebut melalui yayasan dakwah atau lainnya seperti salah satu stasiun televisi lokal untuk membantu korban?”
Beliau menjawab, “Orang-orang hizbi yang tidak memiliki paham takfir (gampang mengkafirkan muslimin), boleh kerja sama dengan mereka. Adapun yang dikenal memiliki paham takfir, maka seharusnya tidak boleh bekerja sama dengan mereka.”
(Sumber: http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=226)
Beliau menjawab, “Orang-orang hizbi yang tidak memiliki paham takfir (gampang mengkafirkan muslimin), boleh kerja sama dengan mereka. Adapun yang dikenal memiliki paham takfir, maka seharusnya tidak boleh bekerja sama dengan mereka.”
(Sumber: http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=226)
[24]Ma Rowahu Wa’un Fi Akhbari Tho’un (hlm. 167). Dan lihat masalah ini secara luas dan detail dalam risalah Hukmu Tada’ili Fi’li Tho’ath fi Nawazil wa Syada’id al-Mulimmat kar. Syaikhuna Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[25]Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (3/101), al-Baihaqi (3/343), dan Ibnul Mundzir (5/314) dengan sanad shohih, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/673) dan Zakariya al-Bakistani dalam Ma Shohha min Atsar Shohabah (1/516).
[27]Diriwayatkan Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (3/101) dengan sanad yang shohih, sebagaimana dalam Fiqhu Dalil kar. Abdulloh al-Fauzan (2/253).
[29]Adapun bencana lainnya selain dari gempa bumi, maka kami cenderung menguatkan bahwa tidak disyari’atkan karena tidak ada dalilnya dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. (Lihat Fatawa Ibnu Baz (13/45) dan Fiqhu Dalil kar. Abdulloh al-Fauzan (2/254))
[31]Muqoddimah Syaikh Abdulloh as-Sa’ad terhadap risalah al-Qoul Shoib Fi Hukmi Sholatil Ghoib karya Sami Abu Hafsh. Lihat pembahasan bagus tentang sholat ghoib dalam Ahkamul Jana’iz kar. Syaikh al-Albani (hlm. 115–120).
[33]Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughul Marom (3/295). Lihat pula Jami’ul Masa’il Fi Ahkami Qunut Nawazil kar. Sa’ad bin Sholih az-Zaid (hlm. 56).
[34]Dr. Abdulloh bin Umar as-Sahyibani rahimahulloh berkata, “Para fuqoha dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, semuanya bersepakat tentang bolehnya mengubur lebih dari satu mayat dalam satu kubur apabila dalam kondisi darurat, seperti kondisi perang, di mana banyak yang terbunuh dan berat bagi manusia untuk menggali dan mengubur satu persatu. Demikian juga dalam kondisi bencana-bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, wabah dan sebagainya yang memakan banyak korban, sehingga memberatkan jika seandainya mengubur mayit satu persatu.” Kemudian beliau membawakan dalil-dalil yang menguatkan pendapat beliau. (Ahkamul Maqobir Di Syari’ah Islamiyyah (hlm. 221–222))
No comments:
Post a Comment